Najiskah Anjing?
Najiskah Anjing?
Islam the Best Religion - Najiskah Anjing? Memang masih banyak
yang masih pro dan kontra masalah anjing itu najis atau tidak. Masih banyak
orang yang beranggapan bahwa anjing adalah binatang najis sehingga menimbulkan
perasaan jijik di dalam diri mereka terhadap anjing. Demikian pula halnya
dengan babi atau daging babi. Bahkan ada yang sampai sangat benci terhadap
binatang yang tidak berdosa ini.
Masalah najis atau tidaknya anjing
ini telah dibahas oleh Al-Imâm Al-Bukhârî dengan
sangat jelas sekali di dalam kitab
"Shahîhnya"
yang terkenal. Al-Imâm Al-Bukhârî
membawakan sebuah riwayat dari Ibnu 'Umar yang dapat memberikan gambaran dan
jawaban yang lebih jelas tentang najis anjing :
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُوْلُ وَ تُقْبِلُ وَ تُدْبٍِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي
زَمَانِ رَسُوْلِ اللَّهِ - ص-
فَلَمْ يَكُوْنُوْا يَرُشُّوْنَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
Artinya
:
"Adalah anjing-anjing
kencing, datang dan pergi dalam masjid di zaman Rasûlullâh saw. tetapi para shahabat --
Beliau -- tidak menyiram sedikit pun dari yang demikian itu".
(H.R.
Al-Bukhârî)
Riwayat ini menunjukkan bahwa anjing tidak najis, karena kalau najis,
tentu masjid yang dimasuki aning tersebut harus dicuci dan dibersihkan dari
bekas-bekasnya. Apalagi peristiwa itu terjadi di masjid yang termasuk paling
mulia di dunia, yaitu Masjid Nabawi (Masjidnya Nabi Muhammad Saw.) yang
terletak di Madînah
Al-Munawwarah.
Dalam sebuah hadits yang lain dari
Abû Hurairah yang juga bisa menjawab
tentang najis atau tidaknya anjing; dari Nabi Muhammad Saw. (Beliau bersabda) :
أَنَّ رَجُلاً رَأَى كَلْبًا يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ ، فَأَخَذَ
الرَّجُلُ خُفَّهُ فَجَعَلَ يَغْرِفُ لَهُ
بِهِ حَتَّى أَرَوَاهُ ، فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ ، فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
Artinya
:
"Sesungguhnya ada seorang pria
yang melihat seekor anjing yang memakan debu karena merasa haus. Maka pria itu
pun melepas sepatunya lalu digunakannya untuk mengambil air, dan kemudian ia
memberi minum anjing itu sehingga anjing itu pun segar (pulih) kembali. Maka
Allâh berterima-kasih kepada pria itu
serta memasukkannya ke dalam Surga".
(H.R.
Al-Bukhârî)
Hadits ini menunjukkan betapa menaruh
rasa kasihan terhadap seekor anjing yang kehausan serta menolong anjing dengan
memberinya minum merupakan perbuatan yang terpuji dalam Islâm dan mendapatkan ganjaran yang besar.
Begitu-pula disebutkan dalam sebuah
hadits yang lain, juga dari Abû Hurairah;
Nabi saw. bersabda :
إِنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِي يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيْفُ
بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ
لَهُ مُوْقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
Artinya
:
"Sesungguhnya seorang wanita
durhaka (pelacur) melihat seekor anjing dihari yang sangat panas sedang
berkeliling di sekitar sumur. Anjing itu menjulurkan lidahnya karena merasa
sangat haus. Maka wanita itu pun melepas sepatunya dan memberi minum pada
anjing itu -- dengan sepatunya --, maka diampunilah dia sebab -- perbuatannya
-- terhadap anjing itu".
(H.R.
Al-Bukhârî dan Muslim.
Hadits ini malah menyebutkan seorang
pelacur mendapat ampunan dari Allâh
SWT. hanya karena ia memberi minum seekor anjing yang kehausan di tengah hari
yang sangat panas dengan menggunakan sepatunya. Dengan kata lain, kedua hadits
di atas tidak membenarkan siapa-pun menaruh rasa benci terhadap anjing tanpa
alasan yang jelas dan tidak benar.
Al-Imâm
Ibnu Hajar (rahimahullâh)
memberikan komentar yang berhubungan dengan masalah ini:
اسْتَدَلَّ الْمُصَنِّفُ عَلَى طَهَارَةِ سُؤْرِ الْكَلْبِ لأَنَّ
ظَاهِرَهُ أَنَّهُ سَقَى الْكَلْبَ فِيْهِ
Artinya
:
"Al-Mushannif (yaitu: Al-Bukhârî)
telah berdalil dengan hadits ini terhadap sucinya bekas-bekas anjing, karena --
hadits ini -- secara tegas menyebutkan bahwa pria (dan juga pelacur) itu
memberi minum seekor anjing dengan bagian dalam sepatunya".
Dengan-kata lain, Al-Imâm Al-Bukhârî berpendapat atau berpendirian bahwa anjing itu tidak
najis. Untuk lebih memperkuat pendapatnya beliau menyebutkan sebuah hadits
lagi, dari 'Adî bin Hâtim yang bertanya kepada Nabi saw. tentang hukum
berburu dengan menggunakan anjing, maka Nabi saw. pun bersabda :
إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ الْمُعَلَّمَ فَقَتَلَ فَكُلْ
Artinya
:
"Ketika engkau melepas
anjing-mu yang telah dilatih, maka makanlah apa yang dibunuhnya.........".
Al-Imâm Ibnu Hajar pun kembali memberikan komentarnya tentang
bekas-bekas anjing:
وَ إِنَّمَا سَاقَ الْمُصَنِّفُ هَذَا
الْحَدِيْثَ هُنَا لِيَسْتَدِلَّ بِهِ لِمَذْهَبِهِ فِي طَهَارَةِ سُؤْرِ الْكَلْبِ
Artinya
:
"Sesungguhnya tujuan
Al-Mushannif (yaitu Al-Bukhârî) membawakan hadits ini di sini,
untuk memberikan dalil (bukti) bagi madzhabnya (pendiriannya) bahwa bekas-bekas
anjing itu suci (tidak najis)".
Dan Al-Imâm Ibnu Hajar juga menjelaskan yang dimaksud dalil
atau bukti -- sucinya bekas gigitan anjing atau hasil buruan anjing oleh
Al-Bukhârî -- dalam hadits ini ialah :
أَنَّ النَّبِيَّ - ص- أَذِنَ لَهُ فِي أَكْلِ مَا صَادَهُ الْكَلْبُ وَ
لَمْ يَقَيِّدْ ذَلِكَ بِغُسْلِ مَوْضِعِ فَمِهِ
Artinya
:
"Sesungguhnya Nabi saw.
membolehkan pada 'Adî bin Hâtim untuk memakan apa saja yang
diburu oleh anjing berburu, dan Belliau (Nabi) tidak mengharuskan untuk mencuci
bekas tempat gigitan mulutnya".
Sehubungan
dengan hadits yang berhubungan dengan hasil buruan anjing ini Al-Imâm Mâlik berkata
:
كَيْفَ يُؤْ كَلُ صَيْدَهُ وَ يَكُوْنُ لِعَابُهُ نَجَسًا ؟
Artinya
:
"Bagaimana hasil buruan
anjing itu boleh dimakan -- tanpa dicuci lebih dulu -- kalau jilatannya
dianggap najis".
Maksudnya
hadist ini, kalau jilatan anjing itu najis, sudah tentu binatang hasil buruan
anjing harus dicuci lebih dulu sebelum dikonsumsi. Akan tetapi Nabi Muhammad Saw,
tidak memerintahkan kita untuk mencucinya, ini menunjukkan bahwa bekas gigitan
atau jilatan anjing tidak najis.
Bagaimana Hukum Jilatan Anjing?
Jilatan anjing mempunyai hukum
tersendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imâm
Al-Bukhârî dalam kitab "Shahîhnya"
dari Abû Hurairah;
sesungguhnya Rasûlullâh saw. bersabda :
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا
Artinya
:
"Apabila anjing minum -- dari
-- bejana kalian, maka basuhlah bejana tersebut sebanyak tujuh-kali".
(H.R.
Al-Bukhârî)
Dalam riwayat yang lain yang
berkaitan dengan jilatan anjing yang juga dari Abû
Hurairah; sesungguhnya Rasûlullâh saw. bersabda :
طُهُوْرُ إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أََنْ يًَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
،أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Artinya :
"Sucinya bejana kalian
apabila di-walagha (dijilat) oleh
anjing ialah jika bejana itu dibasuh sebanyak tujuh-kali, yang pertama dengan
tanah".
(H.R.
Muslim)
Kata "walagha" dalam hadits ini biasanya diartikan dengan "menjilat".
Sehingga dari terjemahan "menjilat" ini, banyak orang yang memahami
dan menyimpulkan bahwa jika anjing menjilat kain, baju, celana, atau jilatan
anjing pada badan kita dan sebagainya, wajib juga dicuci sebanyak tujuh-kali,
juga dengan menggunakan tanah. Kesimpulan atau pemahaman seperti ini timbul
karena terjemahan "menjilat" atau "walagha" yang tidak
sempurna. Padahal arti "walagha" ( وَلَغَ) yang sesungguhnya
dalam hadits tersebut di atas menurut Tsa'lab ialah :
هُوَ أَنْ يُدْخِلَ لِسَانَهُ فِي الْمَاءِ وَ
غَيْرِهِ مِنْ كُلِّ مَائِعٍ فَيُحًَرِّكُهُ
Artinya :
"(Walagha) itu ialah jika si
anjing memasukkan lidahnya ke dalam air atau selainnya yang berbentuk benda
cair, lalu ia gerak-gerakkan lidahnya itu".
Dengan kata-lain, kata "walagha"
artinya bukan sembarang menjilat, akan tetapi -- arti yang sebenarnya -- ialah
: "Minum
atau menjilat sesuatu yang cair". Dan Ibnu Makî berkata :
فَإِنْ كَانَ غَيْرُ مَائِعٍ يُقَالُ لَعِقَهُ
Artinya
:
"Jika benda yang dijilat
bukan benda cair, maka perbuatan itu disebut la'iqa".
Jadi, jika anjing menjilat benda
padat (bukan cair), seperti kain, celana, baju, bagian tubuh kita dsb., maka
perbuatan anjing itu disebut "la'iqa"(لََََََعِقَ ). Dan hukum "walagha"
berbeda dengan "la'iqa", sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ustadz
A.Qadir Hassan :
"Jilatan anjing yang
diperintah kita mencucinya itu, hanya apabila anjing menjilat bejana saja,
selain dari itu tidak ada keterangannya. (Yaitu jika anjing menjilat kain,
celana, baju dan lain sebagainya, kita tidak disuruh mencucinya). Kalau tidak
ada suruhan mencuci berarti tidak najis. Kalau tidak najis, sudah tentu dapat
dipakai shalat, yaitu shah shalat dengan memakai kain, baju atau celana
itu".
0 comments: