Siapa Imam Al Bukhari?

Siapakah Al-Imam Al-Bukhari?




            Islam The Best Religion - Al-Imâm Al-Bukhârî nama lengkapnya: Abû 'Abdillâh Muhammad bin Ismâ'-îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah. Imam Al Bukhari lahir pada hari Jum'at tanggal 13 Syawwâl tahun 194 H. di Bukhârâ. Kakek moyang Imam Al Bukhari yang pertama, yaitu Bardizbah berkebangsaan Persia dan menganut agama bangsa Persia (Majûsî). Kemudian kakek beliau yang kedua, yaitu Al-Mughîrah memeluk Islâm dilanjutkan oleh kakek beliau berikutnya, yaitu Ibrâhîm dan ayah beliau Ismâ'-îl.

            Ayah Imam Al Bukhari, yaitu Ismâ'-îl termasuk salah seorang perawi hadits yang tsiqah (dipercaya), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam "Kitâbu-Ats-Tsiqât" (Kitab yang memuat daftar para perawi hadits yang dipercaya):

فِي الطَّبَقَةِ الرَّابِعَةِ إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ وَالِدُ الْبُخَارِيِّ يَرْوِي عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ  وَ مَالِكٍ .....                                                                    
Artinya :
"Pada thabaqat (tingkatan) ke-empat adalah Ismâ'-îl bin Ibrâhîm, ayah dari Al-Bukhârî, ia meriwayatkan -- hadits -- dari Hammâd bin Zaid dan Mâlik......(dst.)".

            Al-Imâm Al-Bukhârî mulai menghafal hadits sejak usia 10 tahun dan pada usia 16 tahun beliau telah hafal di luar kepala kitab-kitab hadits karya Ibnul-Mubârak dan Wakî' (dua orang 'ulamâ' besar dari kalangan tabi'în).

            Imam Al Bukhari telah mempelajari ilmu hadits dari lebih 1000 orang 'ulamâ' pakar hadits pada zamannya, sebagaimana diakuinya:

كَتَبْتُ عَنْ أَلْفِ وَ ثَمَانِيْنَ رَجُلاً لَيْسَ فِيْهِمْ إِلاَّصَاحِبُ حَدِيْثٍ ، كُلُّهُمْ يَقُوْلُوْنَ: اْلإٍيْمَانُ قَوْلٌ وَ فِعْلٌ                                                                                 
Artinya :
"Aku telah menulis hadits dari 1080 orang, mereka semua adalah ahli hadits. Dan mereka semua menyatakan, bahwa Imân itu adalah ucapan dan perbuatan".

(Maksudnya: Seluruh guru haditsnya, tidak sekedar pakar dalam ilmu hadits, tetapi juga mempunyai prinsip agama yang benar, yaitu imân kepada Allâh bukan sekedar pernyataan di mulut saja, tapi juga harus disertai atau ditindak lanjuti dengan perbuatan, yaitu melaksanakan ketaatan kepada-Nya)

Mengenai kumpulan hadits yang terdapat dalam Kitab Shahîhnya, beliau berkata :

خََّرَّجْتُ كِتَابَ الصَّحِيْحِ مِنْ زُهَاءِ سِتُّمِائَةِ أَلْفِ حَدِيْثٍ فِي سِتِّ عَشْرَةِ سَنَةٍ ،  وَ مَا وَضَعْتُ فِيِْهِ حَدِيْثًا إِلاَّ اغْتَسَلْتُ وَ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ                                       
Artinya :
"Aku menulis Kitâb Shahîh ini -- dengan menyaring -- dari kira-kira 600.000 hadits selama 16 tahun, dan aku selalu mandi dan shalat dua raka'at sebelum meletakkan setiap hadits di dalamnya".

            Dan dari 600.000 hadits yang beliau teliti selama 16 tahun, maka yang beliau ambil dan salin dalam Kitab Shahîhnya hanya sebanyak 7275 saja.

            Abû Ja'far Mahmûd bin 'Amer Al-'Uqalî mengatakan, bahwa setelah selesai menyusun "Kitâb Shahîhnya", beliau membawanya kesejumlah 'ulamâ' ahli hadits senior, seperti Ahmad bin hanbal, Yahyâ bin Ma'în, 'Alî bin Al-Madînî dll. Dan mereka semua memberikan pernyataan dan persaksian akan shahîhnya kitab tersebut, kecuali 4 buah hadits saja yang mereka anggap tidak shahîh.

            Betapa sulit kita bayangkan bagaimana kesungguhan, ketelitian dan keseriusan beliau dalam melakukan penelitian dan penyaringan dari sebanyak 600.000 hadits, lalu mengujinya satu-demi satu selama 16 tahun, memilah-milahnya sehingga hanya menjadi 7275 hadits saja. Wajarlah jika para 'ulamâ' ahli hadits menganggap "Kitâb Shahîh" ini sebagai sebuah karya yang agung. Dan dalam menulis karyanya itu beliau telah melalui sebuah perjalanan ilmiyah dan spiritual yang cukup panjang dan melelahkan sehingga Leopold Weiss (Muhammad Assad), seorang cendikiawan berkebangsaan Jerman yang masuk Islâm mengatakan: "Para pakar hadits, khususnya Al-Imâm Al-Bukhârî dan Muslim telah melakukan apa yang mungkin dilakukan oleh manusia untuk meletakkan setiap keaslian hadits dalam batu ujian yang paling keras".

            Sejak dulu sampai sekarang pun "Kitâb Shahîh" beliau selalu mendapat perhatian yang besar dari para 'ulamâ', ustadz, da'i, cendikiawan dan juga kaum Muslimîn pada umumnya, dan selalu digunakan sebagai referensi atau rujukan utama oleh mereka dalam setiap masalah terutama dalam menetapkan hukum Islâm. Jadi, penolakan mentah-mentah terhadap Kitâb Shahîh ini tanpa disertai qa'idah-qa'idah ilmu hadits serta alasan-alasan ilmiyah lainnya, merupakan perbuatan bodoh dan tidak terpuji.

            Al-Imâm Al-Bukhârî wafat pada malam Sabtu, bertepatan dengan malam hari raya 'Îdul-Fithri tahun 256 H. dalam usia 63 tahun kurang 13 hari Semoga Allâh membalas segala jerih payah dan pengorbanan beliau, meridhainya serta memberi tempat yang mulia di sisi-Nya, bersama Rasûlullâh saw. dan para shahabatnya serta para tâbi'în dan tâbi'ut-tâbi'în (radhiyallâhu 'anhum ajma'în). Sesungguhnya Allâh itu sebaik-sebaik pemberi balasan.

Bolehkah Perempuan Haidh Memegang & Membaca Al-Qur-an?



Bolehkah Perempuan Haidh Memegang & Membaca Al-Qur-an?

 

 

 

           Tuntunan Agama Islam - Sering kali orang melarang perempuan yang sedang haid atau laki-laki yang sedang junub untuk memegang kitab suci Al Quran. Untuk menjawab pertanyaan atau pendapat ini akan diberikan gambaran sebagai berikut :

            Al-Imâm Al-Bukhârî telah membahas masalah boleh atau tidaknya wanita haid memegang atau membaca Al Quran ini dalam kitab "Shahîhnya", beliau berkata :

وَ قَالَ إِبْرَاهِيْمَ: لاَ بَأْسَ أَنْ تَقْرَأَ اْلآيَةَ            
Artinya :
Telah berkata Ibrâhîm: "Tidak mengapa jika ia (perempuan haidh) membaca ayat-ayat (Al-Qur-ân)".

Kemudian beliau berkata lagi:

وَ لَمْ يَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْقِرَأَةِ لِلْجُنُبِ بَأْسًا             
Artinya :
"Ibnu 'Abbâs tidak melihat (berpendapat) orang junub terlarang untuk membaca Al-Qur-ân".

            Maksudnya: Ibnu 'Abbâs berpendapat bahwa orang yang dalam keadaan junub boleh membaca Al-Qur-ân. Orang junub ialah orang (laki-laki) yang dalam keadaan tidak suci, seperti sehabis melakukan hubungan suami isteri dan belum mandi wajib. Termasuk juga perempuan yang sedang haidh. Dengan kata-lain, perempuan yang sedang haidh boleh juga membaca Al-Qur-ân.
           
Lalu Al-Imâm Al-Bukhârî menuqilkan sebuah hadits dari Â-isyah Ummul-Mu'minîn yang berbunyi:

وَ كَانَ النَّبِيُّ - ص - يَذْكُرُ اللَّهَ فِي كُلِّ أَحْيَاَنِهِ            
Artinya :
"Adalah Nabi saw. senantiasa berdzikir kepada Allâh di dalam segala keadaan".

            Maksud hadits ini menurut para pakar atau ahli hadits ialah : Dalam keadaan suci atau junub, Nabi saw. selalu berdzikir kepada Allâh. Dan membaca Al-Qur-ân termasuk bagian dari berdzikir kepada Allâh.

            Al-Imâm Ibnu Hajar (rahimahullâh) telah memberi komentar yang baik sekali mengenai hal ini, beliau berkata :

وَ لِهَذَا تَمَسَّكَ الْبُخَارِيُّ وَ مَنْ قَالَ بِالْجَوَازِ غَيْرِهِ كَالطَّبَرِيِّ وَ ابْنِ الْمُنْذِرِ وَ دَاوُدَ بِعُمُوْمِ  حَدِيْثِ  كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ ، لأَنَّ الذِّكْرَ أَعَمَّ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ بِالْقُرْآ نِ أَوْ بِغَيْرِهِ ،                                                   
Artinya :
Dan kepada hadits -- Â-isyah -- ini Al-Bukhârî berpegang, dan juga orang-orang selain beliau, seperti Ath-Thabârî, Ibnul-Mundzir dan Dâwûd untuk menetapkankan bolehnya -- perempuan haidh membaca Al-Qur-ân --, karena sangat umumnya hadits -- Â-isyah -- yang berbunyi: "Adalah Nabi saw. senantiasa berdzikir kepada Allâh di dalam segala keadaan", karena kata "Dzikir" lebih luas daripada sekedar membaca Al-Qur-ân atau selain Al-Qur-ân".
(Lihat Fathul-Bârî juz I hal. 407 - 408)

            Al-Imâm Ibnu Hajar juga menjelaskan, bahwasanya memang ada beberapa hadits yang melarang perempuan haidh membaca atau bahkan memegang Al-Qur-ân, akan tetapi semua hadits tersebut dianggap tidak shah oleh  Al-Bukhârî.
(Lihat Fathul-Bârî juz I hal. 408)

            Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa wanita haidh boleh atau tidak terlarang untuk memegang dan membaca Al-Qur-ân.

Bolehkah Berpacaran Menurut Hukum Islam?



Bolehkah Berpacaran Menurut Hukum Islam?




            Tuntunan Agama Islam - Pertanyaan ini mungkin yang paling menggelitik dan sering diperdebatkan. Dalam Islâm telah diberikan beberapa batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan tercela. Islâm melarang keras berkhalwat, yang dalam pengertian umum adalah berpacaran, yaitu berdua-duaan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Karena perbuatan tersebut dapat membuat pelakunya terjerumus ke dalam perbuatan nista, yaitu perzinahan, padahal Allâh SWT. berfirman:

وَ لاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَ سَاءَ سَبِيْلاً           
Artinya :
"Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya -- zina -- itu adalah keji dan sejahat-jahatnya jalan".
(Surah Al-Mâ-idah (5):32)

            Maksud ayat ini menurut alm. Buya Hamka ialah : "Segala sikap dan tingkah-laku yang dapat membawa kepada zina janganlah dilakukan. Hendaklah dijauhi!". Selanjutnya alm. Buya Hamka mengatakan, "Khalwat yaitu berdua-dua saja laki-laki dengan perempuan adalah termasuk mendekati zina. Islâm mengharamkan khalwat".
(Lihat Tafsîr Al-Azhar juz 15 hal. 57)

Rasûlullâh saw. juga telah menegaskan hal ini dalam sebuah hadits:

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ.........              
Artinya :
"Ingatlah! Tidaklah berkhalwat (berdua-duaan) seorang laki-laki dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah syaithân.......".
(H.R. At-Tirmidzî dari Ibnu 'Umar)

            Dengan kata-lain, berpacaran atau berdua-duaan sama-saja membuka peluang bagi syaithân untuk menguasai kedua belah pihak dan selanjutnya menjerumuskan keduanya ke dalam perbuatan keji yaitu perzinahan.

           Dalam Islam yang diperbolahkan adalah taaruf. Ta'aruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan atau saling mengenal dengan tujuan mencari jodoh atau serius untuk menuju pernikahan.

Adab Pergaulan Laki-Laki Dan Wanita Dalam Islam



Pergaulan Laki-Laki Dan Wanita Dalam Islam

 

 

          Tuntunan Agama Islam - Sekarang kita coba membahas tentang pergaulan laki-laki dan wanita dalam Islam. Pada zaman Rasûlullâh saw. kaum wanita biasa menghadiri shalat berjama'ah di masjid bersama kaum pria. Kaum wanita juga ikut menghadiri shalat Hari-Raya di lapangan dan bersama-sama mengumandangkan takbir. Bahkan mereka (kaum wanita) diikut-sertakan dalam perang oleh Rasûlullâh saw. terutama untuk merawat orang-orang yang terluka dsb. Hal itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab shahîh, seperti: Shahîh Al-Bukhârî,  Muslim dll Begitu-pula dalam hal menuntut ilmu, kaum wanita tidak mau ketinggalan dari kaum pria sehingga mereka membuat waktu khusus bagi Rasûlullâh saw. untuk mengajar dalam majelis mereka sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhârî pada Bab 'Ilmu dalam kitab "Shahîhnya". Namun Islâm tetap memberikan beberapa batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

            Dr. Yûsuf Al-Qardhâwî (hafizhahullâh) memberikan 6 (enam) patokan hukum dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yaitu:

1.       Menahan pandangan dari kedua-belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat 'aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak lama-lama memandang tanpa keperluan, sebagaimana firman Allâh :

           قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَ يَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ...........

            Artinya :
            "Katakanlah kepada orang-orang mumin laki-laki; hendaklah mereka menahan pandangan mata mereka dan memelihara kemaluannya................".
            (Surah An-Nûr (24):30)

            Dan firman Allâh:

           وَ قُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنَ أَبْصَارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ..........

            Artinya :
            "Dan katakanlah kepada para mu'minât perempuan, agar mereka -- juga -- menahan pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka.......".
            (Surah An-Nûr (24):31)

2.       Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntun syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan, jangan tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allâh berfirman :

           وَ لاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُوْرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ......

            Artinya :
            "...dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya...".
            (Surah An-Nûr (24):31)
             
                  Diriwayatkan dari beberapa shahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
                  Allâh berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan :

           ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ.........

            Artinya :
            ".......Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu...".
            (Surah Al-Ahzâb (33):59)
             
                  Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka  mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.

3.       Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki :

a.        Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allâh berfirman :

           فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَ قُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

             Artinya :
             ".........Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik".
             (Surah Al-Ahzâb (33):32)

b.        Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allâh:

             وَ لاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتَهِنَّ..........

             Artinya :
             ".....Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan...".
             (Surah An-Nûr (24):31)

c.        Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggang-lenggok, seperti yang disebutkan dalam hadits :

           الْمَائِلاَتُ وَ الْمُمِيْلاَتُ

             Artinya :
             "(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kema'shiatan)".
             (H.R. Ahmad dan Muslim)

             Jangan sampai ber-tabaruj (menampakkan 'aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliyyah tempo dulu ataupun jahiliyyah modern.

4.- Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5.- Jangan berdua-duaan (laki-laki dan wanita) tanpa disertai mahram. Banyak hadits shahîh yang melarang hal ini seraya mengatakan, "Karena yang ketiga adalah syaithân".
           
Jangan berduaan sekali pun dengan kerabat suami atau isteri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

إِيَّاكُمْ وَ الدُّخُوْلُ عَلَى النِّسَاءِ , قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ , أَرَأََيْتَ الْحَمْوَ ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ                                                         
Artinya :
"Janganlah kalian masuk ke tempat wanita". Mereka (shahabat) bertanya: "Bagaimana dengan ipar wanita?". Beliau menjawab: "Ipar wanita itu membahayakan".
(H.R. Al-Bukhârî)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau isteri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

6.- Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.
(Lihat Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II hal. 393 - 395)

            Demikianlah 6 (enam) patokan dalam pergaulan antara kaum laki-laki dengan kaum wanita dalam Islâm, yang Insya-Allâh bila dipatuhi akan mendatangkan manfaat yang besar. (Wallâhu A'lam)